![]() |
Ilustrasi | foto: net |
Partukkoan
Berapa bulan terakhir ini thema tentang seputar Plikada serentak memang menjadi isu dan perbincangan yang menarik untuk disimak. Alasannya jelas bahwa perhelatan pemeilihan kepala daerah merupakan jantung atau semacam jalan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang baru demi kepentingan bersama. Untuk itu tak heran media masa baik surat kabar atau pun televise ramai menyiarkan berita seputar Pilkada serentak yang baru saja berakhir. Ada talkshow di televisi yang membahas tentang Pilkada serentak dan juga di surat kabar banyak kita temukan berita tentang Pilkada serentak ini termasuk opini-opini publik. Hematnya bahwa pilkada ini memang menyedot banyak perhatian kerena Pilkada menentukan arah baru bagi perubahan beberapa daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah.
Politik pada dasarnya merupakan sesuatu yang luhur. Politik itu luhur karena tujuan dari politik itu sendiri adalah untuk menciptakan kebaikan bersama. Politik selalu menyangkut banyak orang sebab itu politik tidak bisa terlepas dari konsensus bersama. Konsensus bersama itu hanya bisa terjadi jika semua masyarakat baik pemimipin dan masyarakat turut ambil bagain untuk saling berkomunikasi membangun suatu dialog untuk menciptakan kultur perpolitikan yang baik.
Aristoteles pernah menyatakan bahwa kita semua adalah mahkluk politik, artinya bahwa kita semua berpolitik ketika kita hidup dalam suatu polis (kota) dengan berinteraksi dan berdiaolog dengan sesama kita. Aristoteles menyebut kita sebagai mahkluk politik kerena sifat sosial kita untuk selalu berdialog dengan orang lain. Tanpa dialog tidak ada politik. Hal senada juga dinyatakan oleh Filsuf turunan Yahudi Hannah Arendt dalam pemikirannya tentang ruang publik. Semua kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah hanya akan terjadi dengan baik dan terlaksana sebagai mana mestinya apabila pemerintah memanfaatkan ruang publik dengan baik. Ruang publik itu harus dimanfaatkan untuk membangun dialog yang baik bersama masyarakat untuk menentukan arah kepemimpinan yang benar serta menyepakati program bersama yang akan dilaksanakan demi tujuan dari politik itu yaitu untuk menciptakan kebaikan bersama.
Bahaya Politik Balas Jasa
Proses pemilihan kepala daerah serentak yang terjadi pada tanggal 15 Februari lalu telah berakhir. Pilkada serentak ini telah melalui proses panjang dan telah berakhir dengan hasil yang akan segera kita ketahui secara pasti dari pengumuman KPU. Pada beberapa daerah memang telah terlihat siapa saja pemimpin yang pasti akan memimpin daerahnya 5 tahun kedepan. Ada juga beberapa daerah yang masih harus melalui satu lagi proses pemilihan yaitu putaran kudua namun kita berharap bahwa hal itu juga akan melahirkan pemimpin yang baik. Bagi para pemimpin yang memang sudah jelas akan memimpin lagi dalam periode 5 tahun kedepan, pastinya telah mempersiapakn strategi kepemimpinan 5 tahun ke depan dengan visi misi yang telah dikampanyekan dan tentu akan dieksekusi nantinya. Kita berharap bahwa kepemimpinan yang baru itu dapat tercipta suatu kepemimpinan yang akuntabel, kredibel, terintegritas dan bebas dari bau korupsi.
Tak dapat kita sangkal pula bahwa persoalan korupsi kini telah menjadi fenomena yang sungguh global. Korupsi tampil dalam berbagai bentuk mulai dari gratifikasi, penipuan, sogok, pencurian, pemerasan dan nepotisme. Fenomena korupsi memang sangat memprihatinkan kita sebab tindakan korupsi itu sendiri sebenarnya sedang mengubur dan membunuh politik yang suci. Korupsi tujuannya jelas hanya untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak.
Melihat fenomena korupsi yang semakin berakar dalam sistem pemerintahan kita, hemat saya terjadi karena para pemimpin kita belum dapat memanfaatkan politik partisipatif antara pemimpin dengan masyarakat atau sebagaimana yang dikatakan oleh Arendt bahwa pemimpin kita belum bisa menggunakan ruang publik dengan baik. Konsensus bersama diabaikan dan putusan pribadi yang bersifat sangat subyektif yang dilakukan sehingga tak heran mucul tindakan korupsi. Seharusnya seorang pemimpin yang baik dapat menjadikan ruang publik yang tersedia untuk menciptakan dialog dengan masyarakat, menentukan arah perpolitikan dan pemerintahan yang baik demi kepentingan bersama.
Satu kejadian yang masif terjadi ketika seorang pemimpin baru mulai menjalankan masa kepemimpinan adalah pergantian bersar-besaran para aparat birokrasi pemerintah. Orang-orang yang dikenal dan menjadi aktor untuk memenangkan seorang calon pemimpin akan diangkat menjadi seorang pimpinan birokrasi atau diberi jabatan yang bagus dalam Satuan Perangkat Kerja Daerah. Inilah politik balas jasa yang sekarang ini sering dipraktekan dalam politik kita. Salah satu contoh politik balas jasa yang pernah dilakukan oleh Jokowi menurut pandangan penulis adalah ketika 100 hari memimpin Indonesia Jokowi telah membagikan 56 jabatan bagi orang-orang yang membantunya dalam Pilpres. Jabatan itu mulai dari menteri, hakim dan lainnya (data tersebut dapat dilihat dalam http://politik.rmol.co/read/2015/01/30/189268/100-Hari-Memerintah,-Jokowi-Banyak-Kasih-Jabatan-Balas-Jasa).
Politik balas jasa yang juga dapat mejadi jalan pembuka bagi terjadinya tindakan korupsi. Saya melihat tindakan politik balas jasa ini dapat menjadi jalur munculnya tindak korupsi karena beberapa alasan. Pertama, politik balas jasa tidak lain adalah praktik kekuasaan yang menguntungkan kelompok sendiri. Pemimpin baru akan secara sepihak menempatkan orang yang berjasa baginya sesuai kehendaknya tanpa memperhitungkan kemampuan dari orang tersebut. Akhirnya karena tidak memiliki kemampuan yang baik dalam bidangnya akan timbul banyak masalah, proyek pembangunan yang mandek, terjadi penipuan sana-sini dan terjadilah korupsi. Kedua, penentuan keputusan tanpa konsensus bersama. Seorang pemimpin yang baru mesti secara terbuka menyampikan atau mengajukan beberapa nama yang akan ia lantik untuk menjadi rekan kerja dalam menjalankan masa pemerintahan. Para calon aparat itu harus ditentukan dalam ruang publik (konsensus bersama) sehingga ada banyak saran untuk menentukan para kepala birokrasi yang tepat bukan asal-asalan. Kalau penetapan itu asal-asalan maka akan terlihat saat kepemimpinan itu mulai berjalan. Ketiga, penentuan aparat birokrasi karena kong-kalikong. Bisa saja setiap pemimpin yang ditentukan menjadi kepala untuk birokrasi hanya berdasar pada unsur balas jasa. Terjadi kong-kalikong antara pemimpin dengan calon tersebut yang akhirnya akan berujung pada tindakan suap dan korupsi lagi.
Mari Menyikapi
Politik balas jasa bisa menjadi satu corong munculnya tindakan korupsi sebab orang-orang yang yang ditempatkan bukan berdasarkan pertimbangan matang melainkan asal-asalan atas pertimbangan untuk balas jasa seperti yang telah dijelaskan di atas. Untuk itu kita sebagai masyarakat juga perlu menyikapi ini di awal tahun pemimpin baru.
Seorang pemimpin yang baru memang sepenuhnya memiliki hak untuk menentukan orang-orang yang nantinya dapat membantu dan menjalankan masa pemerintahannya. Namun pertimbangan pemilihan itu harus secara tegas diumumkan dan didialogkan bersama masyarakat. Artinya pemimpin boleh menentukan calon beserta bidang apa yang akan diberikan kepada orang-orang itu serta latar belakang keahlian dari orang-orang tersebut. Pemimpin harus berusaha menggunakan ruang publik sebaik mungkin untuk menjaring dialog dan masukan dari masyarakat sendiri atas calon yang diusulkan sehingga calon-calon tersebut dapat menempati tempat yang tepat dan dapat bekerja seturut amanat politik, menciptakan kebaikan bersama. Dengan pemanfaatan ruang publik ini tentunya kita akan secara perlahan memangkas tindakan korupsi. Semoga lewat pemimpin yang baru kita pilih, dapat menjadi satu era baru kepemimpinan yang akan menciptakan sistem pemerintahan yang kredibel, akuntabel dan transparan. Ini adalah harapan seluruh masayarakat. Semoga.
Oleh Insensius Enryco Mokos
Anggota KMK Ledalero